Kamis, 06 Oktober 2011

Refleksi Terhadap Lemahnya Strategi Pembangunan Ekonomi Kaltim

“Sektor industri adalah salah satu variable penentu pembangunan ekonomi suatu daerah, tanpa sokongan industri yang massif, mandiri, modern dan kerakyatan, Maka kita hanya akan penonton setia di negeri sendiri”.

Rakyat Kalimantan timur, pasti sependapat dengan pernyataan, “Kalimantan timur adalah salah satu provinsi terkaya di Indonesia, tapi mengapa angka kemiskinan masih begitu besar?”. Meski pemerintah selalu beralasan bahwa pendatanglah yang menyebabkan tingkat kemiskinan semakin besar, namun tentu hal tersebut tidak akan terjadi sekiranya tingkat serapan tenaga kerja (employment effect) berjalan secara secara linear dengan tenaga kerja yang ada. Banyak variable yang menjadi penyebab, salah satunya adalah pertumbuhan industri lokal daerah yang berjalan lambat.

Kemandirian industri lokal menjadi terasing dengan stigma kekayaan Migas dan Tambang batu bara yang memang menjadi keunggulan ekonomi komparatif bagi Kaltim. Pola investasi asing yang diharapkan akan mampu membangun ekonomi Kaltim, ternyata tidak secara signifikan melakukan proses alih teknologi di daerah. Dominasi corporate asing-pun masih sangat dominan dalam mengelola kekayaan alam Kaltim. Kontribusi yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut terhadap daerah memang besar terhadap pendapatan kas daerah, namun bukankah akan jauh lebih besar jika asset dan kekayaan daerah kita, mampu dekelola sendiri secara mandiri???. Inilah yang menjadi problem pembangunan Kaltim, terkhusus bidang ekonomi yang harus kita jawab secara bersama-sama, baik pemerintah maupun masyarakat.

Kekayaan alam Kaltim memang bisa dikatakan melimpah, terutama disektor Tambang minyak dan gas, namun itu semua tidak berarti apa-apa saat ini. Kalimantan Timur hari ini masih indentik dengan kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan dihampir semua bidang dibandingkan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Angka kemiskinan yang ada di Kalimantan Timur berdasarkan survey dari olahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), hingga bulan Maret tahun 2007 ini, penduduk Kaltim yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 324,8 ribu atau sekitar 11,04 persen dari total penduduk Kaltim sebanyak 2.957.465 jiwa. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Juli 2006 yang berjumlah 299,1ribu (10,57 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 25,7 ribu. Jika kita menggunakan standar perhitungan internasional tentang kategori orang miskin (orang yang berpendapatan di bawah 2 Dollar), maka tentu saja angka statistik tersebut di atas akan sepuluh kali lipat jauh lebih memprihatinkan.

Potret Industri Kaltim

Sektor industri lokal di Kalimantan Timur sampai hari ini belum memberikan kontribusi yang begitu signifikan terhadap pembangunan ekonomi daerah. Hal itu dikarenakan sektor industri kita sangat lemah baik itu dalam hal teknologi, kapasitas produksi dan kemampuannya untuk bersaing dengan industri asing. Disamping itu, sektor industri lokal Kaltim juga tidak memiliki platform kerakyatan, yakni sebagai penopang utama bagi kesejahteraan rakyat, melainkan berplatform kapitalism atau ambil untung saja tanpa pertimbangan pembangunan segala bidang yang berkelanjutan (suistanable development).

Kekayaan alam Kaltim, terutama disektor tambang minyak, batu bara dan gas, tidak mampu dimanfaatkan secara optimal oleh industri lokal. Malah perusahaan-perusahaan asinglah-lah yang memanfaatkannya melalui TNC-MNC, yang banyak melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam Kaltim yang tentu saja hasil dan keuntungannya tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Kaltim sendiri, melainkan Negara-negara maju pemilik peusahaan-perusahaan tersebut.

Sejak zaman Orde Baru, strategi pembangunan ekonomi yang digunakan sama sekali tidak menyesuaikan diri dengan formulasi kebutuhan pokok masyarakat. Deretan panjang industri yang dikembangkan, mulai dari otomotif, persenjataan hingga pesawat terbang, memperlihatkan betapa terobsesinya kita mengikuti Negara-negara maju yang jauh lebih berkembang. Rata-rata industry yang dikembangkan dizaman Orde Baru, sama sekali tidak sesuai dengan kebutuhan pokok masyarakat pada umumnya. Kenapa bukan industry pemecah kemiri, atau peningkatan produksifitas teknologi pertanian yang lebih kita fokuskan, yang notabene memang telah menjadi problem utama masyarakat kita?.

Jika ditarik pada konteks ekonomi Kaltim, maka dapat dipastikan bahwa hasil-hasil produksi Migas dan Batu Bara juga tidak secara utuh akan dikonsumsi masyarakat. Batu bara, gas alam, minyak dll, toh pada akhirnya menjadi komoditas ekspor bagi daerah/Negara lain. Secara umum, Kaltim hanya akan mendapatkan sokongan modal dari hasil pemasaran produksi Migas tersebut. Kaltim secara umum, belum mampu mengembangankan industry modern yang berbasis pada kepentingan rakyat, walhasil, dominasi perusahaan-perusahaan asing yang mengekspolitasi sector tambang minyak, gas dan batu bara di Kaltim, terus memimpin dan mengambil alih perkembangan roda industry di Kalimantan Timur.

Ketergantungan

Kaltim tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu daerah pengahasil Migas terbesar di Indonesia. Sumber pendapatan utama sebagai penopang pembangunan ekonomi Kaltim sangat mengandalkan sector Migas ini. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut telah menjadi nilai tersendiri terhadap arah pembangunan Kaltim kedepan. Namun keunggulan pada sektor Migas ini, tidak disertai dengan pertumbuhan industri manufaktur sebagai salah satu langkah menuju industri yang modern, dengan tujuan untuk menyediakan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs approach), khususnya sandang dan pangan. Hal ini tentu akan menyebabkan ketimpangan lalu lintas komoditas konsumsi masyarakat. Salah satu bentuknya adalah, tingkat harga komoditas kebutuhan pokok di Kaltim yang jauh di atas rata-rata di daerah lain. Hal ini dikarenakan barang-barang konsumsi masyarakat lebih banyak dimpor dari luar daerah, terutama produk makanan luar negeri. Tengok saja produk-produk makanan buatan Malaysia yang banyak beredar di Kaltim! Suatu pemandangan yang menimbulkan buah pertanyaan ; “Megapa Kaltim hingga saat ini tidak mampu mengembangkan industry diluar Migas secara mandiri?”. Pertanyaan yang sangat mudah dijawab, sebab Kaltim memang masih mengalami ketergantungan yang sangat luar biasa terhadap industri Migas, dibanding upaya membangun industri manufaktur di daerah sendiri. Walhasil, para stakeholder di daerah Kaltim-pun sibuk dengan penataan lalu lintas industri Migas, dibanding mempersiapkan agenda-agenda industirialisasi khususnya dibidang manufaktur.

Kaltim memang boleh berbangga hati dengan kekayaan alam yang dimiliki, terutama disektor tambang minyak, gas dan batubara, namun tanpa sokongan dari pembangunan industry pokok rakyat, maka efek ketergantungan akan semakin besar. Padahal Kaltim sendiri memiliki asset alam yang cukup potensial disektor pertanian dan tanaman pangan. Di dalam rencana strategis (Renstra) yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian tanaman pangan Provinsi kaltim, nampak jelas bahwa potensi alam disektor ini cukup menjanjikan. Tinggal bagaimana upaya dalam meningkatkan produktifitas saja. Sebab selama ini, hal tersebut kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Lemahnya modernisasi teknologi pertanian, kurangnya upaya penambahan mutu hasil pertanian dan pangan, serta fasilitas bahan dasar tani yang tidak memadai, menjadi kendala utama saat ini. Walhasil, Alih teknologi menuju agro industry pertanian-pun hanya sekedar wacana saja dikalangan masyarakat.

Jika seandainya kita ingin sedikit merendah dengan belajar dari strategi pembangunan ekonomi cina, maka formulasi pembangunan industry seyogyanya dapat kita lakukan dengan baik di Kaltim. Praktek pemberdayaan industry kecil-menegah (Home Industry) yang dilakukan Cina dengan penuh kesabaran, tak disangka mampu menuai hasil yang sangat fantastis beberapa tahun kemudian dengan angka pertumbuhan eknomi rata-rata 9-11 persen pertahunnya. Inilah yang sering diistilahkan para pengamat ekonomi dengan program “Loncatan Jauh Ke Depan” yang dilakukan oleh Cina sejak zaman Mao Tze Tung berkuasa. Begitu pula dengan Kuba yang pada awalnya adalah sebuah negeri yang subsisten dengan sektor pertanian sebagai andalannya, kini mengalami kemajuan yang pesat karena digenjotnya pembangunan industri Negara tersebut. Tentunya dengan kemampuan teknologi dan IPTEK dari masyarakatnya, industri Kuba telah berhasil menjamin rakyatnya dapat makan tiga kali sehari. Kekayaan sumberdaya alam dan energi alternatif serta besarnya tenaga produktif (manusia) akan menjadi modal yang cukup untuk mengembangkan sektor industri daerah. Masih banyaknya angkatan kerja yang menganggur akibat terbatasnya kemampuan perekonomian daerah untuk menyerap tenaga kerja akan terjawab jika industri daerah diperkuat.

Cetak biru (blue print) , pembangunan kawasan industri memang agak sedikit melegakan dengan realisasi tiga titik daerah kawasan industri, yakni ; Bontang (Bontang Industri Estate), Banjarmasin (KAPET DAS KAKAB), dan Balikpapan (Kawasan Industri Kariangau-KIK). Namun ketiga kawasan tersebut masih didominasi oleh industri non manufaktur. Bontang Industri Estate misalnya, masih menitik beratkan pada industri kimia yang terlihat dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam kawasan tersebut. Dengan asumsi ingin memberdayakan potensi kekayaan alam Kaltim khususnya di sector Migas, bukan berarti Kaltim tidak mampu untuk membangun industri secara massif diluar Migas, terutama disektor manufaktur. Efek domain yang dharapkan akan menjalar didaerah-daerah pedesaan, terasa lamban dan tak terarah jika tidak ada usaha yang lebih kongkrit untuk mencetuskan pogram industrialisasi secara massif.

Dalam konsep pembangunan industry, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, myakni ; (1). Pembangunan industri dasar, antara lain industri logam (baja), industri listrik, energi, kimia dasar, dsb guna menjamin ketersediaan bahan baku dan bahan bakar industri. (2). Pembangunan industrialisasi pertanian guna menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. (3). pembangunan industri barang-barang modal, yakni industri mesin-mesin, industri pengangkutan, dsb. Dan (4). pengembangan industri barang-barang konsumsi. Tahapan pertama sudah mengarah kepada proses pematangan, dengan menjamurnya industri energi yang dimiliki oleh Kaltim. Namun terlihat stagnan tak bergerak sama sekali dengan mandegnya upaya memabangun industri di luar tambang migas dan abtu bara. Industri dibidang pertanian, barang modal serta konsumsi, masih menjadi sekedar konsep dikepala tanpa pernah terealisasi dengan baik dilapangan.

Strategi Penguatan

Relatif masih underdeveloped-nya sektor industri di Kalimantan Timur, diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain ; rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya teknologi dan masih sangat minimnya modal, terutama modal bagi sector industry kecil masyarakat pedesaan (Home Industry). Selain itu, keterbatasan teknologi dan SDM juga dikarenakan oleh terbatasnya dana yang dimiliki oleh para pengusaha-pengusaha lokal. Pada umumnya sedikit sekali perusahaan-perusahaan lokal yang memiliki sendiri lembaga penelitian dan pengembangan sendiri (development research). Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengukur besarnya dampak dari keterbatasan teknologi dan SDM terhadap kinerja sektor industri adalah tingkat produktivitas, baik secara parsial dari masing-masing faktor produksi yang digunakan (seperti tenaga kerja dan barang modal), maupun secara keseluruhan yang disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP). TFP yang dimiliki Kaltim, masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Daerah-daerah besar lainnya, sehingga menyebabkan rendahnya pertumbuhan industri. Berikut beberapa persoalan yang ada pada sektor industri local Kalimantan Timur :

Hukum Globalisasi pada dasawarsa terakhir ini telah mengalami perubahan dasar dalam pola persaingan dunia dalam produksi maupun perdagangan internasional, dimana “kapasitas teknologi”, menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan persaingan sektor industri manufaktur suatu negara. Kemampuan teknologi tersebut terdiri dari beberapa unsur yang penguasaannya tergantung pada tahap industrialisasi suatu negara. Ada enam kategori kemampuan teknologi : (1). Pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan, mendesain, menyusun, dan menyelenggarakan proyek industri baru atau memperluas serta memodernisasikan proyek industri yang sudah ada. (2). kemampuan produksi yang meliputi segala pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengoperasikan suatu pabrik. (3). kemampuan untuk mengadakan perubahan kecil meliputi rekayasa adaptif dan penyesuaian organisatoris untuk mengadakan penyesuaian kecil atau perbaikan incremental secara berkesinambungan baik dalam desain dan kinerja produk maupun dalam teknologi proses produksi. (4). kemampuan pemasaran yang mengacu pada pengetahuan dan keterampilan untuk mengumpulkan informasi mengenai pola permintaan, trend pasar, dan menciptakan saluran-saluran distribusi yang efisien dan efektif. (5). kemampuan dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan organisasi dalam memperlancar arus informasi dan teknologi, dan (6). kemampuan dalam melakukan penemuan teknologi baru baik teknologi proses maupun teknologi produk.

Sudah saatnya Kaltim berupaya untuk memabngun industry yang mandiri, modern dan kerakyatan. Mandiri dalam makna, mampu berjalan dengan kemampuan sendiri tanpa harus tergantung dengan pihak luar. Modern dalam arti, mengembangkan industry yang mampu memanfaatkan perkembangan teknologi di abad 21 (dengan kategori teknologi tepat guna tentunya), denan tujuan meningkatkan kualitas produk daerah. Dan kerakyatan sebagai perwujudan industry yang ditopang oleh industri dasar dan industri barang modal dari tenaga produktif yang kita miliki yang betul-betul mampu diarahkan untuk menyokong kehidupan dan kesejahteraan Rakyat Kaltim secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar